Rabu, 23 Januari 2013

Menjawab Problem Kejahatan Moral

 

Belakangan ini problema kejahatan moral menyeruak bagai aliran banjir deras di masyarakat kita. 1 September 2011, seorang wanita berumur 27 tahun berinisial RS diperkosa di sebuah angkot di Jakarta. Pertengahan Agustus, mahasiswi Bina Nusantara, Livia, juga dibunuh setelah diperkosa. Rangkaian kejahatan moral sejenis pun sangat ranum menghiasi headline media massa Indonesia. Harian Kompas (Senin, 19 September 2011) melaporkan bahwa kasus pemerkosaan di lima wilayah DKI Jakarta sampai Juni 2011 terhitung 8 kasus, tentu itu data yang kasat mata, entah berapa yang tidak. Bagong Suyanto, Dosen Masalah Sosial Anak FISIP Universitas Airlangga, mengurai sebuah data yang mengerikan bagi bangsa kita, yang konon, katanya beragama dan bertuhan ini. Beliau berkata, “Studi yang saya lakukan pada 2002 membuktikan bahwa dari sekitar 300 kasus perkosaan yang terekspose media massa, ternyata korban pemerkosaan adalah bocah perempuan berusia 2 tahun hingga nenek-nenek berusia 70 tahun . . .”[1] Ketika memperhatikan fakta dan realita dunia ini, penulis merasa shock dan berpikir “manusia apa binatang ya yang melakukan kejahatan seperti itu?” 


Lebih memprihatinkan, ditemui kecenderungan bahwa masalah kejahatan moral seperti itu disikapi dengan kurang arif oleh pemerintah. Fauzi Bowo, gubernur DKI Jakarta, mengatakan bahwa pemerkosaan itu terjadi karena salah perempuan yang memakai rok mini di tempat umum dan akhirnya “menggoda” kaum lelaki. Tanggapan yang muncul pun beragam. Kaum feminis merasa bahwa statement itu sangat mendegradasikan perempuan dan cenderung menyalahkan korban. Dalam poin ini, penulis sepakat dengan Julia Suryakusuma[2] bahwasanya pemerkosaan bukan berawal dari baju yang dipakai korban. Tetapi, pada hakikatnya si pelaku sendiri yang salah dalam an sich-nya. Komentar Fauzi Bowo dan seorang kepala daerah di Aceh yang berkata, “perempuan yang tidak memakai baju syariah, layak diperkosa” sangat naif dan menghina perempuan, bahkan juga menghina kaum laki-laki! Bukankah dengan kalimat itu, mereka melegitimasikan kaum Adam untuk melakukan tindakan amoral seperti pemerkosaan itu? Bagi penulis—yang tentu saja adalah lelaki tulen-, kalimat itu adalah penghinaan besar yang mendegradasikan derajat umat manusia—serta derajat laki-laki- seperti binatang semata-mata.          

Tapi realita menanti jawaban pasti, pertanyaan penting yang kini perlu dijawab adalah mengapa kejahatan moral, seperti pemerkosaan ini dapat terjadi? Menjawab problem ini adalah krusial, karena data-data di atas melantunkan raungan melodi kepedihan yang menunjukkan masalah yang akut, membuncahkan realitas moral bangsa yang korup. Padahal moralitas jelas adalah salah satu dimensi pembangunan manusia Indonesia. Bukankah manusia Indonesia dikenal dengan watak luhur dan nilai-nilai moral yang adiluhung? Di sini penulis akan mengeksplorasi problema ini dari kacamata seorang intelektual Kristen-Indonesia.

Pertama-tama, harus diakui bahwa kasus pemerkosaan dan kejahatan moral disebabkan oleh banyak faktor. Reza Indragiri Amriel, psikolog forensik Universitas Bina Nusantara, menjelaskan bahwa kejahatan jalanan banyak terjadi akibat dari gaya hidup buruk sebagian masyarakat. Gaya hidup itu berkaitan erat dengan minuman keras, judi, juga prostitusi.[3] Bagong Suyanto dalam artikel yang sama dengan yang penulis kutip di atas, berargumentasi bahwa kejahatan pemerkosaan adalah bagian dari kekerasan gender, yakni kekerasan yang diakibatkan latar belakang pelaku yang menempatkan perempuan dalam posisi marginal dan tersubordinasi. Dua pendapat tersebut menegaskan bahwa tindakan kejahatan moral seperti pemerkosaan terdiri dari banyak faktor, baik faktor buramnya ekonomi, sengkarutnya pendidikan, maupun runyamnya aspek sosiologis-kultural. Tetapi apakah itu faktor utama? Menurut pendapat penulis sebagai intelektual Kristen, membanjirnya kejahatan moral di bumi Indonesia ini diakibatkan oleh kesalahan dasariah manusia. Kesalahan dasariah itu yakni kesalahan tafsir, mis-interpretation, salah pemaknaan terhadap hakikat tubuh manusia. Kesalahan yang menghujam manusia sejak awal peradaban!

Romo Deshi Ramadhani. SJ, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, mengutarakan demikian, “memahami tubuh manusia adalah sesuatu yang pada dasarnya akan sangat menentukan bagi dunia dan seluruh sejarah peradaban dan budaya manusia.[4] Ya, pemahaman dan pemaknaan terhadap tubuh manusia adalah dasar utama untuk menelisik kasus-kasus kejahatan moral di depan kita. Membludaknya kejahatan moral yang mewujudrupa dalam tindakan pemerkosaan di bangsa ini menunjukkan ketidakmengertian manusia Indonesia terhadap hakikat asalinya sebagai manusia yang bertubuh.


Tanda-tanda realita terjadinya kesalahan tafsir terhadap tubuh manusia dapat banyak ditemukan. Coba saja anda mengamati sampul majalah fashion atau majalah lelaki, anda akan menemukan perempuan-perempuan dengan tubuh yang indah, (dianggap) sexy, dan segala macamnya. Model-model ini akhirnya membentuk cara pandang kita terhadap tubuh. Membuat rasanya tubuh manusia yang ideal haruslah seperti itu, sexy dan menarik. Itu bagi perempuan. Bagi pria? Sama saja. Coba tengok model-model parfum, mobil, dan segala sesuatu tentang pria, mereka adalah model pria dengan rambut bergaya masa kini, tubuh atletis dengan perut six-pack, dan tampang yang rupawan. Para pria pun merasa bahwa tubuh mereka harus seideal itu. Akhirnya, tubuh manusia dinilai menurut tampilan luarnya. Tampilan luar yang ideal itu yang harus dicapai, digenggam, dan diupayakan. Menjamurnya salon-salon kecantikan, serta berseminya ladang operasi plastik, baik yang legal maupun ilegal, menjadi justifikasi utama. Berapa banyak kaum remaja putri yang merelakan uangnya untuk mengoperasi tubuhnya, demi hidung lebih mancung, paha lebih kencang, dan ribuan bentuk tubuh lain yang hendak digapai. Semua yang dilakukan ini semata-mata karena mereka memahami bahwa seolah-olah hakikat tubuh manusia ditentukan oleh tampilan luar.


Fakta di atas juga mempertautkan kita pada kesimpulan yang lain, yaitu tubuh manusia menjadi objek materi atau objek pertukaran uang semata-mata. Beberapa waktu yang lalu dilaporkan oleh harian Jawa Pos, adanya aktor dan aktris yang bagian tubuhnya diasuransikan dengan harga yang tentu saja membuat mata terbelalak. Di tempat lain, cobalah tengok misalnya, sebuah pameran otomotif, apa yang ditampilkan oleh pemilik produk dari pameran tersebut selain produknya –mobil misalnya-? Tentu seorang model! Model yang cantik, yang kalau bisa memakai rok mini, dengan paras elok, berusaha mendekap para customer. Bukankah di situ tubuh menjadi komoditi? Tubuh manusia dipakai menjadi alat untuk mendapatkan materi atau uang.


Justifikasi mutlak sebagai tanda terjadi salah tafsir terhadap pemahaman tubuh manusia adalah kepercayaan bahwa seks adalah hal utama yang hendak dicapai. Lihatlah koran-koran lokal, produk-produk yang menjual alat bantu demi mencapai kepuasan seks amat sering nampang di iklan. Semboyan “alami kepuasan seks, maka keluarga anda akan bahagia” juga begitu sering kita dengar. Adiksi terhadap seks menjadi salah satu kecanduan pekat yang hadir dalam masyarakat kini! Tanyakan kepada anak-anak remaja di sekeliling kita, pembicaraan apa yang menarik buat mereka. Pasti sebagian besar mereka akan menjawab bahwa obrolan tentang seks mungkin adalah yang paling menarik hati, sekaligus bikin penasaran. Menjamurnya bisnis pornografi juga menegaskan bahwa seks menjadi tujuan utama yang hendak dicapai. Dan ingatlah, seks itu memakai tubuh!  Pandangan bahwa seks adalah suatu hal utama yang hendak dicapai membuat manusia memakai tubuhnya atau memandang tubuh sebagai alat untuk mencapai kepuasan itu. Kemudian lahirlah usaha-usaha tidak wajar untuk mencapai kepuasan itu, perselingkuhan, pemakaian alat bantu seksual, jajanan di prostitusi, sampai kejahatan moral dalam wajah pemerkosaan. Dengan kesalahan tafsir itu, manusia Indonesia yang adiluhung itu pun terjerembap dalam lingkaran kejahatan moral, yang merupakan selubung pekat, membuat kita meratap dan kini harus menggugat.


Dalam terpaan realita-realita yang menyedihkan itu, yang sesungguhnya mendehumanisasi manusia, penulis merasa bahwa manusia Indonesia perlu memahami arti hakiki tentang tubuh. Hakiki atau hakikat artinya adalah hal yang esensial, yang mendasari dari eksistensi, mendasari keberadaan (ground of being). Pemahaman yang sejati tentang hakikat tubuh harus ditelusuri di dalam sejarah keberadaan manusia. Seluruh agama mempercayai bahwa manusia diciptakan oleh Sang Khalik. Karena itu, upaya mencari pengertian yang tepat tentang tubuh harus dilihat dari narasi kisah penciptaan manusia, di sini penulis mengupayakan sebuah perspektif dari iman Kristiani.


Dalam kitab suci Kristen, teks Kejadian 1:27 dituliskan demikian, Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Teks ini memberikan informasi pada kita bahwa Sang Khalik menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Artinya, manusia adalah representasi dari keberadaan Tuhan dan manusia memiliki karakteristik Sang Pencipta di dalam dirinya (natur ilahiah).


Lebih dari itu, narasi penciptaan mengisahkan bahwa Adam diciptakan dari debu tanah, lalu dihembuskan nafas kehidupan oleh Sang Khalik. Inilah yang membuat manusia begitu berbeda dengan ciptaan yang lain sebab manusia dapat hidup karena memiliki nafas dari Sang Pencipta sendiri. Kejadian 2:7 pun dituliskan, “Ketika itu TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” frasa membentuk manusia di sini artinya “membentuk sebuah tubuh manusia.” Tentu saja, representasi Ilahi di dalam diri manusia ini termasuk juga dalam tubuh manusia, karena hanya tubuh manusia saja yang dapat memperlihatkan apa yang spiritual dan ilahi. Tubuh manusialah yang merefleksikan persona, diri manusia secara utuh. Pada dasarnya tubuh manusia berkaitan erat dengan eksistensi manusia sendiri. Tanpa tubuh, manusia tidak akan pernah ada. Tubuh yang diciptakan Sang Pencipta itu pun bagian dari gambar dan rupa Allah.  Istilah teknisnya, manusia adalah imago Dei.


Pemahaman tentang manusia sebagai gambar dan rupa Sang Pencipta sesungguhnya amat subversif-revolusioner pada konteks Mediterania kuno–tempat mula di mana teks kitab suci ditulis. Di daerah Mesir Kuno, manusia yang dianggap gambar dan rupa Allah hanyalah sosok yang berkuasa dan itu adalah raja Mesir. Sedangkan manusia yang lain dianggap sama seperti binatang. Inilah alasan yang mendasari hadirnya perbudakan serta transaksi manusia. Tetapi, kisah penciptaan dalam kitab Kejadian ini menantang pemahaman waktu itu! Nyatanya semua manusia adalah gambar dan rupa Tuhan, representasi Ilahi sendiri, pribadi yang memiliki karakter dan natur Ilahi. Manusia pun–di segala tempat, segala ras, warna kulit-adalah individu yang mulia, bernilai tinggi. Tentu, termasuk tubuh yang merefleksikan eksistensinya. 


Pemahaman bahwa manusia adalah representasi dan berkarakter Ilahi itulah yang membuat manusia masih mempunyai ide-ide tentang moral. Dalam filsafat Imannuel Kant, disebut sebagai imperatif kategoris, yaitu kebenaran pada dirinya sendiri yang tidak perlu dipertanyakan. Tubuh pun adalah bagian dari representasi Ilahi itu. Oleh sebab itu, kita tidak boleh memandang tubuh sekedar komoditas materialis, atau objek eksploitasi.  Apabila itu dilakukan, tidakkah sebuah penghinaan sedang kita kerjakan terhadap Sang Pencipta? Dan, tidakkah jelas penghinaan pula terhadap diri kita sendiri, sebagai makhluk yang berbudi dan bermoral?  Benarlah diktum terkenal dari novelis legendaris Rusia, Aleksandr Solzhenitsyn, “men have forgotten God, that’s why all this happened. Kehancuran moral manusia dikarenakan manusia melupakan eksistensi asalinya, melupakan Sang Khalik, Tuhan Pencipta, causa prima dari keterlemparan manusia ke dalam dunia.


Berkaitan dengan seks, apa makna hakikinya? Romo Deshi Ramadhani dalam buku Lihatlah Tubuhku memperlihatkan bahwa seks atau persetubuhan bukan sekadar bertujuan untuk biologis, tetapi mempunyai dimensi teologis. Pada mulanya, manusia diciptakan laki-laki saja, yakni Adam. Kemudian di dalam proses kehidupannya, manusia mengalami “kesendirian asali” (original solitude), yang membawa manusia ke dalam pencarian akan sosok yang lain yang melengkapi keberadaannya. Di situlah, Sang Khalik bertindak dengan membentuk manusia yang lain, perempuan, Hawa, sebagai penolong bagi manusia pertama, Adam. Tindakan Ilahi itu pun membawa kehadiran seksualitas atau persetubuhan dalam kehidupan manusia. Inilah mengapa ada dimensi teologis dalam persetubuhan.


Daripada itu, persetubuhan adalah communion personarum, yakni kesatuan antar-pribadi, laki-laki dengan perempuan, yang satu dengan yang lain disatukan dalam pemberian total kepada pasangannya. Ini disebut arti nupsial, atau original unity. Persetubuhan atau seks adalah momen yang diciptakan Sang Pencipta di mana dengan sepenuh cinta setiap pasangan mengungkapkan dirinya pada pasangannya. Momen ini tidak mungkin digapai jika manusia sendirian, atau berelasi dengan bukan lawan jenis (homoseksual). Romo Deshi berkata, “Persatuan suami dan istri menjadi ‘satu daging’ adalah sebuah bentuk keikutsertaan manusia secara nyata di dalam seluruh karya Tuhan Pencipta sejak semula.” Dalam persetubuhan, manusia turut berkarya dalam karya ciptaan Ilahi untuk menuju kesinambungan umat manusia di bumi ini. Lagipula, manusia mempunyai tugas untuk memelihara bumi. Manusia harus menjaga dunia ciptaan Ilahi agar dunia ciptaan mampu berharmoni dalam kehidupan manusia. Tentu saja, tugas itu tidak mungkin dikerjakan jika manusia tidak melakukan persetubuhan. Jika demikian, seks juga tidak boleh dipandang sebagai objek pemuasan biologis belaka. Tanpa dimensi teologis, manusia menjadi setara dengan animal, yang memakai seks dengan alasan biologis saja. Terlebih, pemerkosaan terhadap sesama manusia yang mempunyai tubuh, adalah degradasi terdalam dalam kehidupan seksualitas manusia–yang ilahi dan luhur itu!

Berdasarkan uraian di atas, telah kita dapatkan dua pemahaman utama tentang hakikat tubuh manusia yaitu (i) tubuh manusia sebagai gambar dan rupa Ilahi, serta (ii) persetubuhan sebagai representasi keterlibatan manusia di dalam karya ciptaan Ilahi. Dua kesimpulan dasar tersebut mengurai kesadaran bahwa dunia di mana kita berada menghadirkan pandangan-pandangan palsu. Pornografi, kaum nudist, serta mereka yang memuja seks dan tubuh tidak menyajikan pemahaman yang hakiki. Pengaruh ateisme Nietzsche, subjektivitas pascamodern, humanisme, sekularisme, materialisme, serta hedonisme, bercampur pekat dalam problem ini. Hanya satu jalan untuk menjawab problem kejahatan moral yang mewujud dalam aksi-aksi pemerkosaan dan kebejatan yang lain, yaitu dengan mengembalikan makna tubuh ke dalam makna hakikinya (makna asal mulanya)! 


Satu hal yang harus kita sadari, mengatasi kejahatan moral di bumi pertiwi ini tidak bisa memakai jalur kekerasan melalui hukum. Betapa pun syariah agama ditegakkan, kejahatan moral semacam pemerkosaan akan tetap akan terjadi. Pemerkosaan bisa menimpa siapa saja. Imam Katolik yang menerapkan hidup selibatisme dengan ketat toh juga terbukti melakukan pelecehan seksual. Semua agama pun sama saja, jika penganutnya, dalam melihat atau memahami tubuh terseret oleh arus pandangan dunia masa kini, maka mereka juga rentan melakukan kejahatan moral. Oleh karena itu, semestinya, pandangan penulis tentang hakikat tubuh di atas serta makna persetubuhan secara teologis dapat diterima lintas-agama sebagai kebenaran yang universal, terlebih manusia Indonesia.


Bayangkan jika seluruh umat manusia kembali memahami tubuh sebagai bagian dari natur Ilahi. Tentu manusia tidak akan seenaknya saja menjadikan tubuh sebagai budak kepuasan nafsu. Manusia tidak akan menjadikan tubuh sebagai objek materi. Manusia tidak akan menjadikan seks sebagai sebuah mahkota yang hendak dituju. Karena sesungguhnya, ketika itu dilakukan, manusia tidaklah menjadi manusia. Manusia turun derajatnya, sama seperti binatang, yang memakai tubuhnya dengan alasan biologis belaka!


Pemahaman ini harus diupayakan agar dapat dimiliki setiap manusia Indonesia. Jika setiap makhluk Indonesia, menyadari bahwa sebenarnya diri mereka adalah ciptaan Ilahi, yang tidak sama dengan ciptaan yang lain, reformasi moral yang besar tentu akan terjadi di bangsa ini. Manusia Indonesia tidak akan dengan mudah terbekap dalam pemahaman yang palsu tentang tubuh, yang mendegradasikan natur dan hakikat kemanusiaan sampai titik terendah. Manusia Indonesia akan menunjukkan keberadaannya sebagai bangsa yang luhur secara moral. Inilah titik pijak untuk kita dapat membangun Indonesia, yang dimulai dari pembangunan karakter, serta kebijaksanaan moral. Kembalinya watak adiluhung itulah yang membuat kita, manusia Indonesia, sepenuhnya menjadi Indonesia.


Pemahaman ini harus disebarkan secara luas melalui facebook, twitter, dan alat komunikasi massa lainnya. Peran lembaga pendidikan pun berpengaruh. Terlebih, universitas sebagai sarang kaum intelektual. Universitas seharusnya mengembangkan kesadaran mahasiswa tentang hakikat tubuh manusia. Bukankah mahasiswa dengan segala tetek-bengek kehidupannya toh juga seringkali dianggap ladang subur kebiadaban moral? Fenomena ayam kampus, persetubuhan di luar nikah yang dilakukan mahasiswa di kos, pornografi yang merajalela dalam lingkungan intelektual adalah bukti bahwa mahasiswa—yang selalu disebut, dengan soknya, agent of change itu-mengalami penyelewengan dalam pemahaman terhadap tubuh manusia. Tidaklah mengejutkan jika kaum intelektual, yang adalah pangkal perubahan bangsa terjerembap dalam problem akut, bangkrut dan korup secara moral, maka bangsanya pun turut bangkrut dan korup! Soe Hok Gie, intelektual muda legendaris Indonesia, pernah menulis, mahasiswa harus melepaskan diri dari masyarakat yang penuh kepalsuan.Ya, terlebih kepalsuan-kepalsuan dalam persoalan-persoalan moral.

Akhirnya, aku hendak menantang pembaca. Apa pemahaman anda tentang tubuh anda, tubuh lawan jenis anda, dan tubuh manusia secara utuh? Sebagai objek yang harus dinikmati, dikuasai, serta diekploitasi? Ataukah sebagai sebuah subjek yang berkarakter ilahi dan bernilai istimewa? Transformasi bangsa Indonesia terjadi ketika manusia Indonesia menggenggam kembali pemaknaan tentang tubuh dengan hakikat yang sejati. Jika anda menolak pemahaman hakikat tubuh yang sejati, barangkali absah saja bila penulis mengatakan: anda perlu mempertanyakan jati diri anda sebagai manusia!






#Tulisan ini adalah sebuah arsip lama, kalau tidak salah kuajukan untuk sebuah lomba yang diselenggarakan Tempo. Tetapi rasanya, ide yang kuungkapkan tetap relevan bagi masa kini. Thanks kepada sahabatku Mb OP (Maria Oktaria Putri), yang dahulu kala mengeditnya.



[1] “Rok Mini, Aurat, dan Pemerkosaan” Jawa Pos, 22 September 2011.
[2]Foke and other four letter wordsJakarta Post, 21 September 2011.
[3]“Tiga Pemerkosa RS Ditangkap” Kompas, 22 September 2011.
[4]Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II (Yogyakarta: Kanisius, 2009) 11. Esai ini ditulis dengan berhutang ide pada beliau yang mengenalkan penulis pada teologi Tubuh.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar